Kamis, 09 Juni 2011

asuhan keperawatan pada pasien emboli paru

KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur punulis sampaikan kepada Allah SWT, karena atas berkah dan hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini, tak lupa pula sholawat beriring salampenulis sampaikan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW, yang telah membawah kita dari alam jahiliyah menuju kealam yang berpendidikan seperti yang kita rasakan pada saat ini. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis hingga terselesainya laporan ini, terutama ditujukan kepada:
1. Drektur STIKES TMS kota Bengkulu.
2. Pembimbing dati pendidikan.
3. Kedua orang tua kami tercinta dan teman – taman seangkatan.
Yang telah member masukan dan motivasi baik moril maupan spiritual dalam penulisan makalah ini.
Dalam penulisan mungkin ada kekeliruan dan kekurangan, untuk itu saran dan kritik dari pembacah kami harapkan dalam penyempurnaan makalah ini. Penulis berharap juga semoga laporan ini bermanfaat bagi kita semua dalam menambah ilmu pengetahuan dan wawasan kita.

Bengkulu, April 2011


Penulis











DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Tujuan
C. Manfaat
BAB II: TINJAUAN TIORITIS
A. Konsep Dasar Teori
1. Pengertian
2. Etiologi
3. Klasifikasi
4. patofisiologi
5. WOC
6. Manifestasi Klinis
7. Pemeriksaan Penunjang
8. Penatalaksanaan
9. Komplikasi
B. Konsep Dasar Askep
1. Pengkajian Teoritis Lengkap
2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
3. Rencana Asuhan Keperawatan
BAB. III : TINJAUAN KASUS
A. Pengkajian
B. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul
C. NCP (Nursing Care Planing)
D. Implementasi
E. Evaluasi
BAB IV : Penutup
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Selain untuk pernafasan, paru juga berperan sebagai saringan atau filter bagi gumpalan darah ( embolus ). Gumpalan darah yang berukuran kecil jika tersangkut pada pembuluh di paru dapat diatasi oleh mekanisme fibrinolitik. Akan tetapi, jika gumpalan darah nya cukup besar, mekanisme fibrinolitik tidak berlangsung dengan baik. Jika mekanisme fibrinolitik tidak berlangsung dengan baik ketika terdapat gumpalan darah yang besar akan timbul emboli paru yang menyebabkan aliran darah terhambat. Embolus biasanya dari vena dalam (deepvein) pada kaki dan pelvis, yaitu vena femoris, vena poplitea atau vena iliaka. Pada penderita penykit tromboflebitis yang melakukan perjalanan jarak jauh engan menggunakan kendaraan sehingga kaki dalam keadan posisi menekuk untuk waktu yang lama, thrombus akan mudah terlepas dan terjadi penggumpalan darah. Polissitemia vera dan penyakit penggumpalan darah merupakan predisposisi untuk terjadinya emboli paru. Obat kontrasepsi oral menyebabkan emboli paru mudah terjadi. Sebenarnya, banyak kejadian emboli paru yang tidak memberikan gejala dan dapat diatasi sendiri oleh paru melalui mekanisme fibrinolitik.
B. TUJUAN
1. Adapun tujuan pembuatan makalah ini untuk membantu perawat dalam melakukan tindakan keaperawatan terhadap penderita Emboli paru.
2. Untuk Mengetahui patofisiologi Emboli paru.
3. Mampu menyusun rencana keperawatan yang baik dilengkapi dengan rasionolnya
4. Mampu menilai hasil dari tindakan keperawatan sesuai dengan criteria tujuan yang ditetapkan.
C. MANFAAT
Mepelajari tentang Penyakit Emboli paru memberi2 kita manfaat yang besar terutama kita sebagai calon perawat professional, karena penyakit ini terkadang sangat sulit untuk di diagnosa. Untuk itu perlu pemahaman yang sangat besar bagi kita, untuk mempelajari materi ini.








BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. KONSEP DASAR TEORI
1. Pengertian
Emboli paru merupakan keadaan terjadinya obstruksi sebagian atua total sirkulasi arteri pulmonalis atau cabang – cabang akibat tersangkutnya Emboli thrombus atau Emboli yang lain (Aru W. Sudoyo, 2006). Penyumbatan Arteri pulmonalis oleh suatu embolus biasanya terjadi secara tiba – tiba. Suatu Emboli bias merupakan gumpalan darah (Trobus), tetapi bias juga berupa lemak, cairan ketuban, sumsum tulang, pecahan tumor atau gelembung udara yang akan mengikuti aliran darah sampai akhirnya menyumbat pembuluh darah. Biasanya arteri yang tidak tersumbat dapat memberikan darah dalam jumlah yang memadai kejaringan paru – paru yang terkena sehingga kematian jaringan bisa dihindari tetapi bila yang tersumbat adalah pumbuluh yang sangat besar atau orang memiliki kelainan paru – paru sebelumnya, maka jumlah darah mungkin tidak mencukupi untuk mencegah kematian paru – paru.
Jika tubuh bisa memecah gumpalan tersebut, kerusakan dapat di minimalkan. Gumpalan yang besar membutuhkan waktu lebih lama untuk hancur sehingga lebih besar kerusakan yang ditimbulkan. Gumpalan yang besar bisa menyebabkan kematian mendadak.
2. Etiologi
Berdasakan hasil – hasil penelitian dari autopsy paru pasien yang menninggal karena penyakit ini menunjukan dengan jelas disebabkan oleh trombos pada pembuluh darah, terutama vena ditungkai bawah atau dari jantung kanan. Sumber Emboli paru yang lain misalnya tumor yang telah menginvasi sirkulasi vena (Emboli tumor), udarah, lemak, sumsum tulang dan lain – lain.
Kemudian material Emboli beredar dalam peredaran darah sampai disirkulasi pulmonal dan tersangkut pada cabang – cabang arteri pulmonal, memberi akibat timbulnya gejala klinis.
Faktor – faktor predisposisi terjadinya Emboli paru menurut Virchow 1856 atau sering disebut sebagai physiological risk factors meliputi:
1. Adanya aliran darah lambat (stasis).
2. Kerusakan dinding pembuluh darah vena.
3. Keadaan darah mudah membeku (Hiperkoagulasi).

3. Klasifikasi
a. Embolus besar
• Tersangkut di arteri pulmonalis besar atau dari percabangan arteri pulmonalis.
• Dapat menyebabkan kematian seketika.
• Dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan gangguan himodinamik.
b. Embolus Kecil
• Tidak menimbulkan gejala kelinis pada penderita tanpa kelemahan kardiovaskuler.
• Dapat menyebabkan nyeri dada sepintas dan kadang – kadang hemoptisi karena pendarahan paru.
• Pada penderita dengan kelemahan sirkulasi pulmoner (payah jantung) dapat menyebabkan infark.
4. Patofisiologi
Embolus paru – paru banyak terjadi akibat lepasnya suatu trombosit yang brasal dari pembuluh darah vena dikaki. Trombus terbentuk dari beberapa elemen sel dan fibrin –fibrin yang kadang – kadang berisi protein plasma seperti plasminogen.
Menurut Virchow, terdapat tiga faktor penting yang memegang peranan timbulnyaa thrombus (Trias Virchow), yaitu:
1. Perubahan permukaan endotel pembuluh darah.
2. Perubahan pada aliran darah.
3. Perubahan pada konstitusi darah.
Secara skematis dapat dilihat timbulnya thrombus yaitu:
Trombosit Tromboplastin
+
Protrombin Trombin
+ Trombus
Fibrinogen Fibrin


Keterangan
Jika terjadi suatu kerusakan pada trombosit maka akan dilepaskan suatu zat tromboplastin. Tromboplastin merangsang proses pembentikan beku darah karena mengubah protrombin yang terdapat dalam darah menjadi thrombin, kemudian bereaksi dengan fibrinogen menjadi fibrin.
Trombus dapat berasal dari pembuluh darah arteri atau vena. Trombus arteri terjadi karena ruasaknya dinding pembuluh darah arteri ( Tunika intima). Sedangkan trombus vena terjadi karena perlambatan aliran darah dalam vena tanpa adanya kerusakan dinding pembuluh darah.
Lemak, minyak, udara, sel tumor, cairan amnion, benda asing seperti rusaknya IV kateter partikel yang diinjeksikan, dan bekuan darah atau pus dapat juga menyebabkan emboli paru – paru. Emboli lemak yang bersal dari praktur tulang panjang dan emboli minyak yang berasal dari limfangiografi tidak mengganggu aliran darah; meski demikian, mereka menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah dan adult Respiratory Distress Syndrom (ARDS).
Embolus berjalan keparu – paru dan diam di pembuluh darah paru – paru. Ukuran dan jumlah emboli ditentukan oleh lokasi. Aliran darah terobstruksi sehingga menyebabkan penurunan perfusi dari bagian paru – paru yang disuplai oleh pembuluh darah.
Akibat buruk yang paling awal terjadi tromboemboli adalah obstruksi komplit atau parsial aliran darah arteri pulmonalis bagian distal. Obstruksi ini akan mengakibatkan serangkaian kejadian patofisiologik yang dapat dikelompokkan sebagai “Pernapasan” dan “Hemodinamik” sebagai akibat trombo emboli paru – paru (TEP).
1. Konsekuensi Pernapasan
Obstruksi akibat emboli adalah menyebabkan daerah paru – paru yang berventilasi tidak mampu melakukan perfusi ‘anatomical dead space’ intra pulmonalis karena dead space tidak terjadi pertukaran gas, ventrikel daerah yang nonperfusi ini sia – sia dalam arti fungsional. Konsekuensi potensial yang ditimbulkan obstruksi emboli ini adalah konstruksi ruang udara dan jalan napas pada daerah paru – paru yang terlibat. Pneumokonstriksi ini dapat dilakukan sebagai mekanisme homeostasis untuk mengurangi ventilasi yang terbuang, kelihatannya disebabkan oleh hipokapnia bronkoalveolar yang merupakan hasil penghentian aliran darah kapiler paru – paru karena aliran tersebut dihilangkan oleh inhalasi udara yang kaya dengan karbondioksida.
Gangguan lain akibat obstruksi emboli adalah hilangnya surfaktan alveolar, namun hal tersebut tidak terjadi dengan cepat. Hipoksima arteri bisa dijumpai, walaupun sama sekali bukan merupakan akibat dari tromboemboli paru – paru.
2. Konsekuensi Hemodinamik
Konsekuensi hemodinamik utama yang diakibatkan oleh obstruksi tromboembolik adalah reduksi daerah potongan melintang dari jaringan arteri pulmonalis. Hilangnya kapasitas vaskuler ini meningkatkan resistensi aliran darah paru – paru yang bisa bermakna akan berkembang menjadi hipertensi paru – paru dan gagal ventrikel kanan akut. Takikardia dan kadang penurunan curah jantung juga dapat terjadi.










5. WOC (Web Of Cautation)


























6. Manifestasi Klinik
Gambaran klinis emboli paru bervariasi tergantung pada beratnya obstruksi pembuluh darah, jumlah emboli paru, ukurannya, lokasi emboli, umur pasien dan penyakit kordiopulmonal yang ada. Emboli yang kecil mungkin tidak menimbulkan gejala, tetapi sering menyebabkan sesak napas.
1. Tanda – tanda yang muncul pada pasien dengan emboli paru – paru adalah:
a. Dispnea
b. Nyeri dada pleuritik
c. Kecemasan
d. Batuk
e. Hemoptisis
2. Gejala yang muncul pada pasien dengan emboli paru – paru adalah:
a. Takipnea
b. crackles
c. Takikardia
d. Bunyi jantung S3
e. Jika tidak ada bunyi S3 bisa jadi ada bunyi S4
f. Keringat berlebih
g. Demam

7. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah tepi: Kadang – kadang ditemukan leukositosis dan laju endap darah yang sedikit tinggi.
b. Kimia darah: Peningkatan kadar enzim SGOT, LDH
c. Analisis gas darah: Pao2 rendah (Hipoksemia), menurunnya Pa Co2 atau dibawah 40 mmhg.
2. Elektrokardiografi
Kelainan yang ditemukan pada elektrokardiografi juga tidak spesifik untuk emboli paru, tetapi paling tidak dapat dipakai sebagai pertanda pertama dugaan adanya emboli paru, terlebih kalau digabungkan dengan keluhan dan gambaran klinis lainnya.
3. Rontgen Thorax
Pada pemeriksaan foto rontgen dada pasien emboli paru, biasanya ditemui kelainan yang sering berhubungan dengan adanya kelainan penyakit kronik paru atau jantung pada pasien emboli paru tanda radiologi yang sering didapatkan adalah pembesaran arteri pulmonalis desendens, peninggian diagfrakma bilateral, pembesaran jantung kanan, densitas paru daerah terkena dan tanda westermark.
8. Penatalaksanaan
1. Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien.
Kebanyakan pasien emboli paru merupakan keadaan gawat darurat, tindakan pertama pada pasien ini adalah memperbaiki keadaan umum pasien untuk mempertahankan fungsi – fungsi vital tubuh:
a. Memberikan Oksigen untuk mencegah terjadinya hipoksimia.
b. Memberikan cairan infus untuk mempertahankan kesetabilan keluaran ventrikel kanan dan aliran darah pulmonal.
2. Pengobatan atas dasar indikasi khusus.
Kembali pada persoalan bahwa emboli paru merupakan keadaan gawat darurat, sedikit atau banyak menimbulkan gangguan terhadap fungsi jantung, maka perlu dilakukan tindakan pengobatan terhadap gangguan jantung tadi, yang dengan sedirinya diberikan atas dasar indikasi khusus sesuai dengan masalahnya.
3. Pengobatan Utama Terhadap Emboli Paru
a. Pengobatan anti koagulan dengan heparin dan warfarin.
b. Pengobatan trombolitik.
Tujuan pengobatan utama ini adalah:
a. Segera menghambat pertumbuhan tromboemboli.
b. Melarutkan tromboemboli.
c. Mencegah terjadinya emboli ulang.
4. Pengobatan Anti Koagulan
Dokter biasanya memberikan obat anti koagulan untuk mencegah pembesaran embolus dan mencegahnya timbulnya pembentukan bekuan darah baru. Perdarahan aktif, stroke dan trauma adalah beberapa kontra indikasi yang memungkinkan penggunaan anti koagulan.
Heparin bisa digunakan jika embolus paru – paru tidak masif (berat) atau tidak mempengaruhi keseimbangan himodinamik. Enzim trombolitik dapat digunakan selanjutnya untuk melisiskan bekuan darah yang ada. Terapi heparin biasanya berlanjut selama 7 – 10 hari. Dokter biasanya memberikan terlebih dahulu obat oral seperti warfarin (Coumadin dan warfilone), pada hari ke – 3 warfarin baru diberikan. Tetapi kombinasi dari wafarin dan heparin selama protrombin time mencapai 1,5 dan 2 kali nilai control. Selanjutnya warfarin selama 3 – 6 minggu.
9.Komplikasi
a. Asma Bronkhial
Asma adalah suatu gangguan pada saluran bronchial dengan ciri bronkospasme periodic (kontraksi spasme pada saluran napas). Asma merupakan penyakit kompleks yang dapat diakibatkan oleh faktor biokimia, endokrin, infeksi, otonomik, dan psikologi.
b. Efusi Pleura
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapatnya penumpukkan cairan dalam rongga pleura.
c. Anemia
Anemia adalah penurunan kuantitas atau kualitas sel – sel darah merah dalam sirkulasi. Anemia dapat disebabkan oleh gangguan pembentukan sel darah merah,peningkatan kehilangan sel darah merah melalui perdarahan kronik atau mendadak, atau lisis (destruksi) sel darah merah yang berlebihan.
d. Emfisema
Emfisema adalah keadaan paru yang abnormal, yaitu adanya pelebaran rongga udara pada asinus yang sipatnya permanen. Pelebaran ini disebabkan karena adanya kerusakan dinding asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak di bronkiolus terminalis distal. Ketika membicarakan emfisema, penyakit ini selalu dikaitkan dengan kebiasaan merokok. Oleh karena itu, beberapa ahli menyamakan antara emfisema dan bronchitis kronik.
e. Hipertensi Pulmoner
Hipertensi pulmoner primer (HPP) adalah kelainan paru yang jarang, dimana didapatkan peningkatan tekanan arteri polmonalis jauh diatas normal tanpa didapatkan penyebab yang jelas. Tekanan arteri polmonal normal pada waktu istirahat adalah lebih kurang 14 mmhg. Pada HPP tekanan arteri polmonal akan lebih dari 25 mmhg saat istirahat, dan 30 mmhg saat aktifitas HPP akan meningkatkan tekanan darah pada cabang – cabang arteri yang lebih kecil di paru, sehingga meningkatkan tahanan (resistensi) vaskuler dari aliran darah di paru. Peningkatan tahanan arteri pulmonal ini akan menimbulkan beban pada ventrikel kanan sehingga harus bekerja lebih kuat untuk memompa darah ke paru.













B. KONSEP DASAR ASKEP
A. Pengkajian teori
1. Identitas Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin,pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa.
2. Keluhan Utama
Klien sering mengeluh nyeri dada tiba – tiba dan sesak napas.
3. Riwayat Kesehatan
Klien merasa lemah, nyeri dada, nyeri kepala, sesak napas.
4. Riwayat Kesehatan Terdahulu
Apakah ada riwayat emboli paru – paru sebelumnya, pembedahan, stroke, serangan jantung, obesitas, patah tulang tungkai – tungkai / tulang panggul, trauma berat.
5. Riwayat Kesahatan Keluarga
Apakah ada di antara keluarga klien yang mengalami penyakit yang sama dengan penyakit yang dialami klien.
6. Data Dasar Pengkajian
a) Aktifitas / istirahat
Gejala: Kelelahan, Dispnea, ketidak mampuan untuk tidur, tirah baring lama,
Tanda: Gelisa, Lemah, Imsomnia, kecepatan jantung tak normal.
b) Sirkulasi
Tanda: Takikardia
Penurunan tekanan darah (Hipotensi), nadi lemah dapat menunjukan anemia.
c) Integrasi Ego
Gejala: Perasaan takut, takut hasil pembedahan, perasaan mau pingsan, perubahan pola hidup, takut mati.
Tanda: Ketakutan, Gelisah, ansietas, Gemetar, Wajah tegang, peningkatam keringat.
d) Makana dan cairan
Gejala: Kehilang napsu makan, Mual / muntah.
Tanda: Berkeringat, edema tungkai kiri atas Glukosa dalam Urin
e) Eliminasi
Gejala: Penurunan frekuensi urin
Tanda: Urin kateter terpasang, bising usus samar
f) Nyeri / Kenyamanan
Gejala: Nyeri kepala, nyeri dada, nyeri tungkai – tungkai
Tanda: Berhati – hati pada daerah yang sakit, mengkerutkan wajah
g) Penafasan
Gejala: Kesulitan bernapas
Tanda: Peningkatan frekuensi / takipnea penggunaan asesori pernapasan
h) Neurosensori
Gejala: Kehilangan kesadaran sementara, sakit kepala daerah frontal
Tanda: Perubahan mental (bingung, somnolen), disorientasi
i) Keamanan
Gejala: Adanya trauma dada
Tanda: Berkeringat, Kemerahan,kulit pucat
j) Pembelajaran / Penyuluhan
Gejala: Faktor resiko keluarga, tumor, penggunaan obat
Rencana Pemulangan: Kebutuhan dalam perawatan diri pengaturan rumah / memelihara
Perubahan program obat
B. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
1. Pada napas tidak efektif yang berhubungan dengan:
a. Obstruksi trokheo bronkhial oleh bekuan darah, sekret kental, atau perdarahan aktif
b. Penurunan ekspansi paru – paru
c. Proses peradangan
2. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan:
a. Perubahan aliran darah ke alveoli atau sebagian besar paru – paru
b. Perubahan membran alveolar – kapiler (Atelektasis, kolaps jalan napas / alveolar, edema paru – paru / efusi, dan sekret berlebih / peradangan aktif).
3. Perubah perfusi jaringan kardiopulmonar (aktual) dan perifer (risiko tinggi), yang berhubungan dengan:
a. Gangguan pada aliran darah
b. Masalah pertukaran pada tingkat alveolar / tingkat jaringan
4. Ketakutan / Kecemasan yang berhubungan dengan:
a. Dispnea berat / ketidak mampuan untuk bernapas normal
b. Persepsi akan mati
c. Perubahan status kesehatan
d. Respons fisiologis terhadap hipoksemia asidosis.





C. Rencana Asuhan Keperawatran
No. Diagnosa keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan:
 Obtruksi trakeo bronkhial oleh bekuan darah, sekret kental, atau perdarahan aktif
 Penurunan ekspansi paru
 Proses peradangan Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola napas efektif.  Bunyi dan kecepatan napas normal, dan tidak menggunakan otot aksesori pernapasan
 Benda asing seperti sekret, bekuan darah dapat dikeluarkan
 Takipnea / Dispnea tidak ada
 TTV DBN
TD:120 / 80 mmHg
ND: 60 – 100 x/i
RR:16 – 24 x /i
 Mengkaji kecepatan napas, kedalaman, dan ekspansi dada. Mencatat kerja napas termasuk penggunaan otot aksesoru pernapasan.
 Auskultasi suara napas dan catat adanya suara nafas tambahan.
 Elevasi kepala pada tempat tidur, membantu untuk mengubah posisi.
 Mengobservasi pola batuk dan karakter dari sekret.
 Memberikan atau membantu pasien dengan latihan napas dalam dan batuk efektif.
Kolaborasi:
 Memberikan O2tambahan
 Memberikan humidifikasi (nebulizer).



 Obtruksi dapat disebabkan oleh akumulasi sekret,bekuan darah,atau perdarahan aktif,penurunan ekspansi paru.
 Obstruksi jalan napas bawah menghasilkan perubahan suara napas ronchi.
 Meningkatkan drainase secret,ventilasi pada semua segmen paru.
 Biasanya pasien mengalami reflek bentuk Tak efektif tergantung karakter sekret.
 Melatih pasien dengan latihan nafas dalam meningkatkan keefektifan upaya batuk.

2. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan:
 Perubahan aliran darah kealveoli atau sebagian besar paru – paru.
 Perubahan membran alveolar kapiler. Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam di harapkan pertukaran gas oksigenasi adekuat.  Kecepatan napas, kedalaman napas normal.
 Sianosis pada jaringan hangat tidak ada.
 Tingkat kesadaran compas neuritis
 TTV DBN
TD: 120 / 80 mmhg
ND:60 – 100 x/i
RR: 16 – 24 x/i -Mencatat kecepatan napas, kedalaman penggunaan otot nafas tambahan, dan pernapasan mulut.
-Mengobservasi warna kulit sianosis pada jaringan hangat seperti cuping telinga, bibir, lidah.
-Membantu pasien untuk memelihara kepatenan jalan napas misalnya dengan batuk dan suction.
-Elevasi kepala sesuai dengan toleransi pasien.
-Memonitor tanda vital.
-Mengkaji tingkat kesadaran atau perubahan mental.
Kolaborasi:
-Memonitor ABGS / pulse oximetry.
-Memberikan oksigen sesuai dengan metode tepat. -Ditemukannya dispnea, takipnea, kecemasan dan menggunakan otot bantu pernapasan.
-Adanya perubahan warna kulit (sianosis).
-Penghisapan sekret dapat mencegah hipoksia dan mengeluarkan sekret.
-Dapat meningkatkan kenyamanan pasien dalam mengeluarkan sekret.
-Adanya tanda – tanda vital yang abnormal.
-Kesadaran pasien somnolen.
3. Perubahan fungsi jaringan kardiopulmonar dan perifer yang berhubungan dengan:
 Gangguaan pada aliran darah
 Masalah pertukaran pada tingkat alveolar / tingkat jaringan. Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam diharapkan perawatan perfusi jaringan kardiopulmonal dan perifer dapat diatasi.  Perfusi jaringan kardiopulmonal kembali normal
 Dispnea tidak ada
 Sianosis sentral tidak ada
 Penurunan tingkat kesadaran tidak ada.
 Urine output normal
TTV DBN:
TD: 120 / 80 mmhg
ND: 60 – 100 x/i
RR: 16 – 24 x/i
-Auskultasi denyut jantung dan ritme. Mencatat suara jantung tambahan
-Mengobservasi perubahan status mental.
-Mengobservasi warna dan temperatur kulit dan memran mukosa
-Mengukur urine output
-Mengevaluasi ekstremitas dan adanya / tidak adanya / kualitas dari nadi.
-Elevasi kakiketika ditempat tidur / kursi.
Kolaborasi:
 Memberikan cairan (IV / PO) sesuai dengan indikasi
 Memonitor hasil diagnosa / laboratorium, misalnya ECG, Blood urea Nitrogen / cromium (BUN / Cr), Analysis Blood Gasses (ABGS),partial Tromboplastin Time (PTT).
Memberikan terapi sesuai dengan indikasi:
 Heparin
 Warparin Sodium (Coumadin).
-Mengontrol dan menentukan suara jantung tambahan dan ritme nya.
-Gelisah binggung dan samnolender menentukan hipoksemia.
-Sianosis pada kulit atau membran mukosa menunjukan hipoksemia.
-Biasanya mengeluarkan urine sedikit sebagai akibat dehidrasi tetapi dapat sebagai respon hipoksemia
-Dengan palpasi nadi di ekstremitas, biasanya nadi tidak teraba.
-Meningkatkan ventilasi sementara dan menguntungkan psikologis.






BAB III TINJAUAN KASUS
A. PENGKAJIAN
Data Biografi
Identitas Klien:
Nama : Ny. Z
Umur : 55 Tahun
Suku/Bangsa : Serawai
Status perkawinan : Kawin
Agama : Islam
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Timur Indah 5
Tanggal Masuk RS : 28 Maret 2011
Tanggal pengkajian : 28 Maret 2011
Catatan Kedatangan : Kursi ( ), Ambulan ( ), Brankar ( )
Kekuarga Terdekat yang dapat dihubungi :
Nama/umur : Tn. A No Telepon : 085264437217
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : Swasta
Alamat : Tomur Indah 5
Sumber informasi : Pasien Keluarga / Orang Terdekat



B. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul
1. Pada napas tidak efektif yang berhubungan dengan:
d. Obstruksi trokheo bronkhial oleh bekuan darah, sekret kental, atau perdarahan aktif
e. Penurunan ekspansi paru – paru
f. Proses peradangan
2. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan:
c. Perubahan aliran darah ke alveoli atau sebagian besar paru – paru
d. Perubahan membran alveolar – kapiler (Atelektasis, kolaps jalan napas / alveolar, edema paru – paru / efusi, dan sekret berlebih / peradangan aktif).
3. Perubah perfusi jaringan kardiopulmonar (aktual) dan perifer (risiko tinggi), yang berhubungan dengan:
c. Gangguan pada aliran darah
d. Masalah pertukaran pada tingkat alveolar / tingkat jaringan
4. Ketakutan / Kecemasan yang berhubungan dengan:
e. Dispnea berat / ketidak mampuan untuk bernapas normal
f. Persepsi akan mati
g. Perubahan status kesehatan
h. Respons fisiologis terhadap hipoksemia asidosis.
C. Rencana Asuhan Keperawatran
No. Diagnosa keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Pola nafas tidak efektif yang berhubungan dengan:
 Obtruksi trakeo brokhial oleh bekuan darah, sekret kental, atau perdarahan aktif
 Penurunan ekspansi paru
 Proses peradangan Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pola napas efektif.  Bunyi dan kecepatan napas normal, dan tidak menggunakan otot aksesori pernapasan
 Benda asing seperti sekret, bekuan darah dapat dikeluarkan
 Takipnea / Dispnea tidak ada
 TTV DBN
TD:120 / 80 mmhg
ND: 60 – 100 x/i
RR:16 – 24 x /i

 Mengkaji kecepatan napas, kedalaman, dan ekspansi dada. Mencatat kerja napas termasuk penggunaan otot aksesoris pernapasan.
 Auskultasi suara napas dan catat adanya suara napas tambahan.
 Elepasi kepala pada tempat tidur, membantu untuk mengubah posisi.
 Mengobservasi pola batuk dan karakter dari sekret.
 Memberikan atau membantu pasien dengan latihan nafas dalam dan batuk efektif.
Kolaborasi:
 Memberikan O2 tambahan
 Memberikan humidifikasi (nebulizer).



 Obtruksi dapat disebabkan oleh akumulasi sekret,bekuan darah,atau perdarahan aktif,penurunan ekspansi paru.
 Obstruksi jalan nafas bawah menghasilkan perubahan suara napas ronchi.
 Meningkatkan drainase secret,ventilasi pada semua segmen paru.
 Biasanya padien mengalami reflek bentuk Tak efektif tergantung karakter sekret.
 Melatih pasien dengan latihan napas dalam meningkatkan keefektifan upaya batuk.

2. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan:
 Perubahan aliran darah kealveoli atau sebagian besar paru – paru.
 Perubahan membran alveolar kapiler. Setelah dilakukan inetrvensi keperawatan selama 3x24 jam di harapkan pertukaran gas oksigenasi adekuat.  Kecepatan napas, kedalaman napas normal.
 Sianosis pada jaringan hangat tidak ada.
 Tngkat kesadaran compos m entis
 TTV DBN
TD: 120 / 80 mmHg
ND:60 – 100 x/i
RR: 16 – 24 x/i -Mencatat kecepatan napas, kedalaman penggunaan otot napas tambahan, dan pernapasan mulut.
-Mengobservasi warna kulit sianosis pada jaringan hangat seperti cuping telinga, bibir, lidah.
-Membantu pasien untuk memelihara kepatenan jalan napas misalnya dengan batuk dan suction.
-Elevasi kepala sesuai dengan toleransi pasien.
-Memonitor tanda vital.
-Mengkaji tingkat kesadaran atau perubahan mental.
Kolaborasi:
-Memonitor ABGS / pulse oximetry.
-Memberikan oksigen sesuai dengan metode tepat. -Ditemukannya dispnea, takipnea, kecemasan dan menggunakan otot bantu pernapasan.
-Adanya perubahan warna kilit (sianosis).
-Penghisapan sekret dapat mencegah hipoksia dan mengeluarkan sekret.
-Dapat meningkatkan kenyamanan pasien dalam mengeluarkan sekret.
-Adanya tanda – tanda vital yang abnormal.
-Kesadaran pasien somnolent.
3. Perubahan fungsi jaringan kardiopulmonar dan perifer yang berhubungan dengan:
 Gangguaan pada aliran darah
 Masalah pertukaran pada tingkat alveolar / tingkat jaringan. Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam diharapkan perawatan perfusi jaringan kardiopulmonal dan perifer dapat diatasi.  Perfusi jaringan kardiopulmonal kembali normal
 Dispnea tidak ada
 Sianosis sentral tidak ada
 Penurunan tingkat kesadaran tidak ada.
 Urine output normal
TTV DBN:
TD: 120 / 80 mmHg
ND: 60 – 100 x/i
RR: 16 – 24 x/i
-Auskultasi denyut jantung dan ritme. Mencatat suara jantung tambahan
-Mengobservasi perubahan status mental.
-Mengobservasi warna dan temperatur kulit dan membran mukosa
-Mengukur urine output
-Mengevaluasi ekstremitas dan adanya / tidak adanya / kualitas dari nadi.
-Elivasi kaki ketika ditempat tidur / kursi.
Kolaborasi:
 Memberikan cairan (IV / PO) sesuai dengan indikasi
 Memonitor hasil diagnosa / laboratorium, misalnya ECG, Blood urea Nitrogen / cromium (BUN / Cr), Analysis Blood Gasses (ABGS),partial Tromboplastin Time (PTT).
Memberikabn terapi sesuai dengan indikasi:
 Heparin
 Warparin Sodium (Coumadin). -Mengontrol dan menentukan suara jantung tambahan dan ritme nya.
-Gelisah binggung dan samnolender menentukan hipoksemia.
-Sianosis pada kulit atau membran mukosa menunjukan hipoksemia.
-Biasanya mengeluarkan urine sedikit sebagai akibat dehidrasi tetepi dapat sebagai respon hipoksemia
-Dengan palpasi nadi di ekstremitas, biasanya nadi tidak teraba.
-Meningkatkan ventilasi sementara dan menguntungkan psikologis.
4. Ketakutan dan kecemasan yang berhubungan dengan:
 Dispnea berat / ketidak mampuan untuk bernapas normal
 Persepsi akan mati.
 Perubahan status kesehatan .
 Respons fisiologi tanpa hipoksemia / asidosis. Setelah dilakukan hipertensi selama 3x24 jam diharapkan perubahan pada pisik terutama pada ketkutan dan kecemasan serta perubahan pernapasan.  Gangguan pada jalan napas teratasi.
 Kemampuan bernapas normal
 Respon fisiologi terhadap asidosis normal. -Pemakaian alat bantu pernapasan (Nebulizer).
-Mengitung denyut nadi.
-Menghitung pernapasan.
-Mengobservasi warna kulit
-Mengobsevasi penambahan status mental
-Elevasi kepala. -Mengontrol TTV.
-Mengontrol pernapasan
-Gelisah, bingung.




D. Analisa Data
ANALISA DATA
Nama Klien : Ny. Z
Ruang Rawat : Melati
Diagnosa Medik : Emboli Paru – paru
No. Data Etiologi Masalah
1. DS :
 Klien mengatakan batuk dengan dahak yang kental dan sulit dikeluarkan
 Klien mengatakan bahwa sekretnya yang mengandung darah
 Klien mengatakan kesulitan bernapas
TTV:
DO :
 Klien tampak kesulitan bernapas.
TD: 80/ 50 mmhg
ND:50 – 80 x/I
RR: 30 – 40 x/i
 Pernapasan cuping hidung:
: Takipnea (+)
: Dipnea (+)
:Pernapasan dangkal (+)
: penggunaan otot bantu pernapasan (+)
Penikatan Produksi Sputum, sputum mengangung darah, lemah dan sianosis, penurunan energy. Bersihan jalan nafas tak efektif.
2. DS: Klien mengatakan batuk berdahak dan mengandung darah takipnea:
: Klien mengatakan kesulitan bernapas (dispnea)
: Klien mengatakan badannya terasa lemah
DO: klien tanpak lemah
:Klien tampak sianosis
:Klien tampak kesulitan bernapas
: Irama denyut nadi tidak teratur
TTV:
 TD: 80/50 mmHg
 ND: 50 – 80 x/I
 RR: 30 – 40 x/I
:Mukosa bibir kering dan pecah
:Takipnea (+)
:Dispnea (+)
:Hb : 10gr / dl
Gangguan suplai O2 Obstruksi jalan napas oleh secret mengandung darah, Trakheobronkial Kerusakan pertukaran gas
3. DS: Klien mengatakan nyeri di dada
: Klien mengatakan pusing
: Klien mengatakan mual sehingga anereksia
: Klien mengatakan nyeri tungkai
: Klien mengatakan badannya lemah
: gangguan irama denyut nadi
DO: Klien tanpak lemah
: Klien tanpak kesulitan bernapas
: Pembengkakan pada tungkai
: Sianosis pada tungkai
: Nadi tidak teraba
TTV:
TD: 80/50 mmHg
ND: 50 – 80 x/I
RR: 30 – 40 x/I
: Mukosa bibir kering dan pecah
: Takipnea (+)
: Annoreksia (+)
: sianosis (+)
Tingkat kesadaran compos mentis
Takipnea lemah, Annoreksia, mual, nyeri dada, nyeri tungkai Gangguan pada aliran darah
4. DS: Klien mengatakan dispnea berat atau ketidakmampuan bernapas normal.
: Klien Mengatakan nyeri dada
: Klien mengatan pusing
: Klien Mengatakan badannya lemah
: Klien Mengatakan keputus asaannya terhadap penyakit yang dideritanya
DO: klien tampak lemah
: Klien bernapas menggunakan otot bantu
: Sianosis
: Dispnea (+)
: Takipnea (+)
: Mukosa bibir kering dan pucat
TTV :
TD: 50 – 60 mmHg
ND: 30 – 50 x/i
RR: 60 – 70 x/i

Dispnea berat, nyeri dada, pusing dan badannya lemah Ketakutan dan kecemasan terhadap penyakit



E. Evaluasi (SOAP)
Catatan perkembangan
Nama Klien : Ny. Z
Ruang Rawat :Melati RSUD M. Yunus
Hari / tanggal Diagnosa Keperawatan Implementasi Evaluasi
Senin, 28 Maret 2011 1. Pola napas tidak efektif yang berhubungan dengan:
• Obstruksi Trakheo bronchial oleh bekuan darah, sekret kental atau perdarahan aktif.
• Penurunan ekspansi paru paru
• Proses peradangan Jam 09.45 WIB.
1. mengkaji kecepatan napas, Ekspansi dada, dan penggunaan otot bantu pernapasan.
2. Mengukur TTV
Hasil:
TD : 100/70 mmHg
ND : 70 x/i
RR : 28x/i
3. Mengauskultasi
suara napas dan
suara napas
tambahan
4. Mengobservasi pola batuk dan karakteristik dari secret.
5. Member
Ikan terapi O2 Jam 14.00 WIb
S : Klien mengatakan sesaknya sudah berkurang
: Klien mengatakan batuknya Efektif dan dapat mengeluarkan sekret di tenggorokan
O : Dispnea berkurang
: Penggunaan obat bantu pernafasan masih ada
:TTV : 120/80mmHg
: ND : 80X/i
:RR : 27X/i
Klien masih mendapatkan O2
A : Tujuan tercapai sebagian,Klien dapat bernapas agak lega dyspnea dan takipnea berkurang
P: Intervensi dilanjutkan
Kaji Kecepetan napas dan kedalaman pernapasan
Auskultasi suara napas
Pantau TTV
Lanjutkan pemberian O2.
Tanda tangan perawat




Senin,28 Maret 2011 2. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan
Perubahan aliran darah ke alveoli atau sebagian besar paru-paru
Perubahan membran alveolar kapiler
Jam 9.45 WIB
1. Mengkaji kecepatan napas,kedalaman napas dan penggunaan otot aksesori pernapasan
Hasil : RR : 28X/I,napas cepat dan dala, dispnea
2. Mengkaji warna kulit
Hasil : Warna kulit pucat,berkeringat dan sianosis
3. Mengobservasi kecepatan jalan napas
-Memonitor tanda-tanda vital
Hasil TD : 100/70 mmHg
ND : 70X/i
RR :28X/i
-Mengkaji tingkat kesadaran dan perubahan mental
Hasil : Tingkat kesadaran somnolent.
-Memberikan terapi oksigen
-Mengawasi Jam 14.00 WIB
S : Klien mengatakan sesaknya sudah berkurang
• Klien mengatakan badanya mulai membaik
O : Takipnea dan dispnea
TTV :110/70 mmHg
ND : 78X/i
RR : 27X/i
-Akral dingin
-Gelisah dan penurunan tingkat kesadaran berkurang
-Pucat dan sianosis mulai menghilang –
-klien masih mendapat oksigen tambahan 2-3lt/i
-AGD : PH : 7,00
PO2=42mmHg
PCO2= 56mmHg
A :-Tujuan tercapai sebagian takipnea dan dispnea berkurang
P : Intervensi dilanjutkan kaji frekuensi kedalaman pernapasan
- Pantau TTV
- Lanjutkan pemberian oksigen tambahan 2-3lt/i
-Awasi seri AGD


Tanda tangan

Perawat
Senin, 28 Maret 2011 Perubahan perfusi jaringan Kardiopulmonar dan perifer yang berhubungan dengan : -Ganguan pada aliran darah
- Masalah pertukaran pada tingkat alveolar/tingkat jaringan Jam : 09.45 WIB
1) Mengkaji kecepatan napas kedalam napas dan penggunaan otot bantu pernapasan
2) Mengukur TTV Hasil :
TD : 110/70 mmHg
ND : 75X/i
RR : 28X/i
3.Mengkaji warna kulit pucat,berker-
ingat dan sianosis
4) Mengkaji kecepatan jalan napas.
5)Memberikan terapi O2
6)Membantu pasien bernapas dan cara memberi- tahu cara bernapas yang efektif.
Mengkaji tingkat kesadaran.hasil
: Tingkat kesadaran Somnolent.
Mengawasi AGD

Jam 14.00 WIB
S :Klien mengatakan sesaknya sudah berkurang
• Klien mengatakan badannya sudah mulai membaik
O: Takipnea dan dispnea berkurang
TTV : 110/75 mmHg
ND : 80X/i
RR : 24X/i
-Akral dingin
-Gelisah dan penurunan tingkat kesadaran berkurang
-Pucat dan sianosis berkurang
-Klien masih mendapat O2 Tambahan 2-3lt/i
-AGD : PH : 7,00
PO2 : 42
PCO2 : 56
Tujuan tercapainya Takipnea dan Disnea mulai berkurang
- kaji frekuensi dan kedalaman pernapasan
- pantau TTV
- Lanjutan pemlenian O2 tambahan ,2-3 l/i
- awasi seri AGD

Tanda Tangan
Perawat



BAB IV PENUTUP
1.Kesimpulan
1. Emboli paru merupakan keadaan terjadinya obstruktur sebagian atau total sirkulasi arteri pulmonal atau cabang –cabang akibat tersangkutnya emboli thrombus atau emboli yang lain.
2. Dari hasil penelitian dari outopsy paru pasien yang meninggal karena penyakit ini menunjukan dengan jelas disebabkan oleh thrombus pada pembuluh dara, terutama vena di tungkai bawah atau dari jantung kanan.
3. Embolus paru banyak terjadi akibat lepasnya suatu thrombus yang berasal dari pembuluh dara vena kaki.
4. Gambaran klinis emboli paru berpariasi tergantung pada beratnya obstruksi pembuluh darah, jumlah embpli paru, ukurannya, lokasi, umur pasien,dan penyakit kardiopulmonal yang ada.
2.Saran
Semoga mahasiswa keperawatan IV B mampu memahami penyakit emboli paru - paru dengan baik. Mampu menerapkan tindakan keperawatan emboli pari –paru.














DAFTAR PUSTAKA
Contran Kuman Rabbins. 1996. Dasar Patologi Penyakit. Edisi Ke – 5. EGC: Jakarta
Djojodibroto Darmanto. 2009. Respirology. EGC: Jakarta
W. Sudoyo Ani. 2006. Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
A. Price Sylvia dan M. Wilson Clorraine. 2006. Patofisiologi. Edisi Ke – 6. EGC: Jakarta
Tjokonegoro Arjantmo dan Henra Utama. 1996. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid Ke – 1. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
Purnawan Junaidi, dkk. 1982. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Ke – 2. Media Aesculapios. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989)
Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara (nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi, mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi, apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.
Pendekatan terapeutik dapat dilakukan untuk menangani anak austik tapi keberhasilannya terbatas, pada terapi perilaku dengan pemanfaatan keadaan yang terjadi dapat meningkatkan kemahiran berbicara. Perilaku destruktif dan agresif dapat diubah dengan menagement perilaku.
Latihan dan pendidikan dengan menggunakan pendidikan (operant konditioning yaitu dukungan positif (hadiah) dan hukuman (dukungan negatif). Merupakan metode untuk mengatasi cacat, mengembangkan ketrampilan sosial dan ketrampilan praktis. Kesabaran diperlukan karena kemajuan pada anak autis lambat.
Neuroleptik dapat digunakan untuk menangani perilaku mencelakkan diri sendiri yang mengarah pada agresif, stereotipik dan menarik diri dari pergaulan sosial.
Antagonis opiat dapat mengatasi perilaku, penarikan diri dan stereotipik, selain itu terapi kemampuan bicara dan model penanganan harian dengan menggunakan permainan latihan antar perorangan terstruktur dapt digunakan.
Masalah perilaku yang biasa seperti bising, gelisah atau melukai diri sendiri dapat diatasi dengan obat klorpromasin atau tioridasin.

1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dan latar belakang tersebut di atas dan tingginya permasalahan dalam masalah anak autisme, maka penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan:
1. Bagaimana cara mengatasi permasalahan yang ada pada anak autisme ?
2. Hal apa saja yang harus dilakukan untuk mengetahui penyebab anak autisme ?

1.3. TUJUAN
1. Tujuan Umum
Diketahui bagaimana perjalanan penyakit pneumotorax serta apa saja komplikasi pada penyakit tersebut bagi masyarakat luas.
2. Tujuan Khusus
a. Agar mahasiswa/i STIKES Tri Mandiri Sakti dapat mengenal lebih baik lagi tentang masalah pada anak autisme.
b. Agar mahasiswa/i STIKES Tri Mandiri Sakti dapat mengetahui bagaimana cara pembuatan ASKEP pada anak autisme.

1.4. MANFAAT
Makalah yang telah penulis buat ini dapat bermanfaat bagi masyarakat luas pada umumnya dan para mahasiswa/i STIKES Tri Mandiri Sakti pada khususnya sehingga dapat menambah pengetahuan tentang masalah pada anak khususnya anak autisme..











BAB II
TINJAUAN TEORITIS
2.1 Konsep Dasar Teoritis
2.1.1. Definisi
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
• interaksi sosial,
• komunikasi (bahasa dan bicara),
• perilaku-emosi,
• pola bermain,
• gangguan sensorik dan motorik
• perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
2. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
4. Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.
2.1.2. Patofisiologi


Tidak seperti banyak orang lain gangguan otak seperti Parkinson, autisme tidak memiliki mekanisme pemersatu yang jelas baik pada molekuler, seluler, atau tingkatan sistem, tetapi tidak diketahui apakah autisme adalah beberapa kelainan yang disebabkan oleh mutasi berkumpul di beberapa jalur molekuler umum, atau adalah (seperti cacat intelektual) set besar gangguan dengan berbagai mekanisme. autism tampaknya timbul akibat dari perkembangan faktor-faktor yang mempengaruhi banyak atau semua fungsi sistem otak, dan mengganggu perkembangan otak waktu lebih dari produk akhir . Neuroanatomical penelitian dan asosiasi-asosiasi dengan teratogen sangat menyarankan bahwa mekanisme autisme itu meliputi perubahan dari perkembangan otak segera setelah pembuahan. anomali ini muncul untuk memulai kaskade patologis peristiwa dalam otak yang secara signifikan dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan. Hanya setelah lahir, otak anak-anak autistik cenderung tumbuh lebih cepat dari biasanya, diikuti dengan normal atau relatif lebih lambat pertumbuhan di masa kanak-kanak. Tidak diketahui apakah awal pertumbuhan yang berlebihan terjadi pada semua anak-anak autistik. Tampaknya menjadi yang paling menonjol di wilayah-wilayah otak yang mendasari perkembangan kognitif yang lebih tinggi spesialisasi. Hipotesis untuk seluler dan molekuler dasar patologis berlebih awal meliputi:
• Kelebihan neuron yang menyebabkan overconnectivity lokal di daerah otak kunci.
• Terganggu saraf migrasi selama awal kehamilan.
• Seimbang penghambatan rangsang-jaringan. Abnormal pembentukan sinapsis dan dendritik duri, misalnya, dengan modulasi dari neurexin - neuroligin adhesi sel-sistem, atau oleh kurang diatur sinaptik sintesis protein. Dibatalkan pembangunan sinaptik mungkin juga berkontribusi untuk epilepsi, yang dapat menjelaskan mengapa dua kondisi yang terkait.
Interaksi antara sistem kekebalan dan sistem saraf mulai awal selama tahap embrionik kehidupan, dan sukses neurodevelopment tergantung pada respon imun yang seimbang. Ada kemungkinan bahwa aktivitas kekebalan yang menyimpang selama periode kritis neurodevelopment adalah bagian dari mekanisme dari beberapa bentuk ASD. Meskipun beberapa kelainan pada sistem kekebalan telah ditemukan dalam sub-sub kelompok khusus individu autistik, tidak diketahui apakah kelainan ini relevan dengan atau sekunder untuk proses penyakit autisme. Sebagaimana autoantibodies ditemukan dalam kondisi selain ASD, dan tidak selalu hadir dalam ASD, hubungan antara gangguan kekebalan dan autisme tetap tidak jelas dan kontroversial.
Hubungan antara zat kimia saraf dengan autisme belum dipahami dengan baik; beberapa telah diselidiki, dengan banyak bukti-bukti untuk peran serotonin dan perbedaan genetis dalam transportasi. Beberapa data menunjukkan peningkatan beberapa hormon pertumbuhan; data lain berpendapat untuk berkurang faktor pertumbuhan. Juga, beberapa kekeliruan metabolisme bawaan berhubungan dengan autisme tetapi account mungkin kurang dari 5% dari kasus.
Sistem neuron cermin (MNS) hypothesizes autisme teori bahwa distorsi dalam perkembangan MNS imitasi mengganggu dan menyebabkan autisme fitur inti kerusakan sosial dan komunikasi, kesulitan MNS beroperasi ketika binatang melakukan suatu tindakan atau mengamati binatang lain melakukan tindakan yang sama. MNS dapat berkontribusi pada pemahaman individu orang lain dengan mengaktifkan modeling perilaku mereka diwujudkan melalui simulasi dari tindakan mereka, niat, dan emosi. Beberapa studi telah menguji hipotesis ini dengan menunjukkan kelainan struktural di daerah MNS orang dengan ASD , penundaan pengaktifan dalam rangkaian inti untuk imitasi pada individu dengan sindrom Asperger, dan korelasi antara aktivitas MNS berkurang dan tingkat keparahan dari sindrom pada anak-anak dengan ASD. Namun demikian, individu dengan autisme juga memiliki otak abnormal aktivasi di banyak sirkuit di luar MNS [84] dan teori MNS tidak menjelaskan kinerja normal anak-anak autis pada tugas-tugas imitasi yang melibatkan tujuan atau objek.

Individu autistik cenderung menggunakan berbagai wilayah otak (kuning) untuk tugas gerakan dibandingkan dengan kelompok kontrol (biru).
ASD-pola yang terkait fungsi dan menyimpang rendah aktivasi di otak berbeda-beda tergantung pada apakah otak melakukan tugas-tugas sosial atau nonsocial. Di autisme ada bukti untuk mengurangi konektivitas fungsional dari jaringan standar, skala besar jaringan otak yang terlibat sosial dan emosional dalam pengolahan, dengan konektivitas utuh dari tugas-jaringan positif, yang digunakan dalam perhatian berkesinambungan dan tujuan-diarahkan berpikir. Pada orang dengan autis dua jaringan tidak berkorelasi negatif pada waktunya, menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam Toggling antara dua jaringan, mungkin mencerminkan gangguan referensial diri berpikir. A 2008 studi pencitraan otak menemukan pola tertentu sinyal di yang Cinguli korteks yang berbeda pada individu dengan ASD.
Teori yang underconnectivity autisme hypothesizes yang ditandai oleh tingkat tinggi underfunctioning hubungan saraf dan sinkronisasi, bersama dengan kelebihan proses tingkat rendah. Bukti untuk teori ini telah ditemukan di neuroimaging fungsional studi pada individu autistik dan oleh ilham studi yang menunjukkan bahwa orang dewasa dengan ASD telah overconnectivity lokal di korteks dan lemah hubungan fungsional antara lobus frontal dan seluruh korteks. Bukti lain menyarankan underconnectivity terutama dalam setiap belahan dari korteks dan bahwa autisme adalah suatu gangguan dari korteks asosiasi.
Dari studi yang didasarkan pada potensi terkait event, sementara perubahan pada aktivitas listrik otak sebagai respon terhadap rangsangan, terdapat banyak bukti untuk perbedaan-perbedaan dalam individu autistik sehubungan dengan perhatian, orientiation untuk pendengaran dan rangsangan visual, kebaruan deteksi, bahasa dan wajah pengolahan, dan informasi penyimpanan; beberapa studi telah menemukan suatu preferensi non-rangsangan sosial. Sebagai contoh, magnetoencephalography studi telah menemukan bukti pada anak-anak autistik yang tertunda tanggapan dalam otak pengolahan sinyal pendengaran.







WOC (Web Of Causation)
















2.1.3. Epidemiologi

Laporan kasus autisme per 1.000 anak-anak tumbuh secara dramatis di Amerika Serikat 1996-2007. Tidak diketahui berapa banyak, jika ada, pertumbuhan berasal dari perubahan dalam autisme's prevalensi.
Tinjauan cenderung memperkirakan prevalensi 1-2 per 1.000 untuk autisme dan mendekati 6 per 1.000 untuk ASD; karena kurangnya data, angka-angka ini mungkin meremehkan prevalensi benar ASD. PDD-NOS 's prevalensi telah diperkirakan 3,7 per 1.000, Sindrom Asperger di sekitar 0,6 per 1.000, dan gangguan disintegratif masa kanak-kanak di 0,02 per 1.000. Jumlah kasus autisme dilaporkan meningkat secara dramatis pada 1990-an dan awal 2000-an. Peningkatan ini terutama disebabkan oleh perubahan dalam praktek diagnostik, arahan pola, ketersediaan layanan, usia saat diagnosis, dan kesadaran publik, meskipun belum diketahui faktor-faktor risiko lingkungan tidak dapat dikesampingkan. yang tersedia bukti tidak mengesampingkan kemungkinan bahwa prevalensi autisme benar telah meningkat; yang nyata akan menyarankan meningkatkan mengarahkan lebih banyak perhatian dan dana terhadap perubahan faktor lingkungan daripada terus fokus pada genetika.
Anak laki-laki pada ASD risiko lebih tinggi dibandingkan anak perempuan. Rata-rata rasio jenis kelamin 4.3:1 dan sangat dimodifikasi oleh kerusakan kognitif: mungkin akan dekat dengan 2:1 dengan keterbelakangan mental dan lebih dari 5.5:1 tanpa. Meskipun bukti tidak melibatkan apapun yang berhubungan dengan kehamilan satu faktor risiko sebagai penyebab autisme, risiko autisme dikaitkan dengan usia lanjut di kedua orangtua, dan dengan diabetes, perdarahan, dan penggunaan obat-obatan psikiatrik pada ibu selama kehamilan. Risiko lebih besar dengan ayah yang lebih tua daripada dengan ibu-ibu yang lebih tua ; dua penjelasan potensial adalah peningkatan diketahui beban mutasi sperma yang lebih tua, dan hipotesis bahwa laki-laki menikah nanti jika mereka membawa tanggung jawab genetik dan menunjukkan beberapa tanda-tanda autisme. Kebanyakan ahli percaya bahwa ras, etnis, dan latar belakang sosial-ekonomi tidak mempengaruhi terjadinya autisme.
Beberapa kondisi lain yang umum pada anak-anak dengan autisme. Mereka termasuk:
• Penyakit genetik. Sekitar 10-15% dari kasus autisme memiliki diidentifikasi Mendel (single-gen) kondisi, kelainan kromosom, atau sindrom genetik lainnya, [152] dan ASD dikaitkan dengan beberapa kelainan genetik.
• Keterbelakangan mental. Bagian dari individu autistik yang juga memenuhi kriteria untuk keterbelakangan mental telah dilaporkan sebagai mana saja dari 25% sampai 70%, variasi lebar yang menggambarkan kesulitan menilai kecerdasan autistik. [154] Untuk ASD selain autisme, asosiasi yang mengalami keterbelakangan mental adalah jauh lebih lemah.
• Gangguan kecemasan adalah umum di antara anak dengan ASD, tidak ada data perusahaan, namun penelitian telah melaporkan prevalensi berkisar dari 11% menjadi 84%. Banyak gangguan kecemasan memiliki gejala yang lebih baik dijelaskan oleh ASD sendiri, atau sulit untuk membedakan dari gejala-gejala ASD.
• Epilepsi, dengan variasi risiko epilepsi karena usia, tingkat kognitif, dan jenis gangguan bahasa. Beberapa metabolik cacat, seperti fenilketonuria, dikaitkan dengan gejala autis.
• Minor anomali fisik meningkat secara signifikan dalam populasi autistik.
• Mendahului diagnosis. Meskipun DSM-IV aturan keluar bersamaan diagnosa dari banyak kondisi lain bersama-sama dengan autisme, kriteria lengkap ADHD, sindrom Tourette, dan kondisi ini sering hadir dan diagnosa komorbiditas ini semakin diterima.
• Masalah tidur mempengaruhi sekitar dua-pertiga dari individu dengan ASD pada titik tertentu di masa kanak-kanak. Ini paling sering termasuk gejala insomnia, seperti kesulitan untuk jatuh tertidur, sering terbangun malam hari, dan pagi terbangun. Masalah tidur berhubungan dengan perilaku sulit dan keluarga stres, dan sering menjadi fokus perhatian klinis di atas dan di atas diagnosis ASD utama.
2.1.4. Etiologi
Penyebab Autisme diantaranya :
• Genetik (80% untuk kembar monozigot dan 20% untuk kembar dizigot) terutama pada keluarga anak austik (abnormalitas kognitif dan kemampuan bicara).
• Kelainan kromosom (sindrom x yang mudah pecah atau fragil).
• Neurokimia (katekolamin, serotonin, dopamin belum pasti).
• Cidera otak, kerentanan utama, aphasia, defisit pengaktif retikulum, keadaan tidak menguntungkan antara faktor psikogenik dan perkembangan syaraf, perubahan struktur serebellum, lesi hipokompus otak depan.
• Penyakit otak organik dengan adanya gangguan komunikasi dan gangguan sensori serta kejang epilepsi
• Lingkungan terutama sikap orang tua, dan kepribadian anak
• Pada masa bayi terdapat kegagalan mengemong atau menghibur anak, anak tidak berespon saat diangkat dan tampak lemah. Tidak adanya kontak mata, memberikan kesan jauh atau tidak mengenal. Bayi yang lebih tua memperlihatkan rasa ingin tahu atau minat pada lingkungan, bermainan cenderung tanpa imajinasi dan komunikasi pra verbal kemungkinan terganggu dan tampak berteriak-teriak.
• Pada masa anak-anak dan remaja, anak yang autis memperlihatkan respon yang abnormal terhadap suara anak takut pada suara tertentu, dan tercengggang pada suara lainnya. Bicara dapat terganggu dan dapat mengalami kebisuan. Mereka yang mampu berbicara memperlihatkan kelainan ekolialia dan konstruksi telegramatik. Dengan bertumbuhnya anak pada waktu berbicara cenderung menonjolkan diri dengan kelainan intonasi dan penentuan waktu. Ditemukan kelainan persepsi visual dan fokus konsentrasi pada bagian prifer (rincian suatu lukisan secara sebagian bukan menyeluruh). Tertarik tekstur dan dapat menggunakan secara luas panca indera penciuman, kecap dan raba ketika mengeksplorais lingkungannya.
• Pada usia dini mempunyai pergerakan khusus yang dapat menyita perhatiannya (berlonjak, memutar, tepuk tangan, menggerakan jari tangan). Kegiatan ini ritual dan menetap pada keaadan yang menyenangkan atau stres. Kelainann lain adalah destruktif , marah berlebihan dan akurangnya istirahat.
• Pada masa remaja perilaku tidak sesuai dan tanpa inhibisi, anak austik dapat menyelidiki kontak seksual pada orang asing.

2.1.5. Prognosis
Anak terutama yang mengalami bicara, dapat tumbuh pada kehidupan marjinal, dapat berdiri sendiri, sekalipun terisolasi, hidup dalam masyarakat, namun pada beberapa anak penempatan lama pada institusi mrp hasil akhir. Prognosis yang lebih baik adalah tingakt intelegensi lebih tinggi, kemampuan berbicara fungsional, kurangnya gejala dan perilaku aneh. Gejala akan berubah dengan pertumbuhan menjadi tua. kejang-kejang dan kecelakaan diri sendiri semakin terlihat pada perkembangan usia.

2.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditemuai pada penderita Autisme :
a. Penarikan diri, Kemampuan komunukasi verbal (berbicara) dan non verbal yang tidak atau kurang berkembang mereka tidak tuli karena dapat menirukan lagu-lagu dan istilah yang didengarnya, serta kurangnya sosialisasi mempersulit estimasi potensi intelektual kelainan pola bicara, gangguan kemampuan mempertahankan percakapan, permainan sosial abnormal, tidak adanya empati dan ketidakmampuan berteman. Dalam tes non verbal yang memiliki kemampuan bicara cukup bagus namun masih dipengaruhi, dapat memperagakan kapasitas intelektual yang memadai. Anak austik mungkin terisolasi, berbakat luar biasa, analog dengan bakat orang dewasa terpelajar yang idiot dan menghabiskan waktu untuk bermain sendiri.
b. Gerakan tubuh stereotipik, kebutuhan kesamaan yang mencolok, minat yang sempit, keasyikan dengan bagian-bagian tubuh.
c. Anak biasa duduk pada waktu lama sibuk pada tangannya, menatap pada objek. Kesibukannya dengan objek berlanjut dan mencolok saat dewasa dimana anak tercenggang dengan objek mekanik.
d. Perilaku ritualistik dan konvulsif tercermin pada kebutuhan anak untuk memelihara lingkungan yang tetap (tidak menyukai perubahan), anak menjadi terikat dan tidak bisa dipisahkan dari suatu objek, dan dapat diramalkan .
e. Ledakan marah menyertai gangguan secara rutin.
f. Kontak mata minimal atau tidak ada.
g. Pengamatan visual terhadap gerakan jari dan tangan, pengunyahan benda, dan menggosok permukaan menunjukkan penguatan kesadaran dan sensitivitas terhadap rangsangan, sedangkan hilangnya respon terhadap nyeri dan kurangnya respon terkejut terhadap suara keras yang mendadak menunjukan menurunnya sensitivitas pada rangsangan lain.
h. Keterbatasan kognitif, pada tipe defisit pemrosesan kognitif tampak pada emosional
i. Menunjukan echolalia (mengulangi suatu ungkapan atau kata secara tepat) saat berbicara, pembalikan kata ganti pronomial, berpuisi yang tidak berujung pangkal, bentuk bahasa aneh lainnya berbentuk menonjol. Anak umumnya mampu untuk berbicara pada sekitar umur yang biasa, kehilangan kecakapan pada umur 2 tahun.
j. Intelegensi dengan uji psikologi konvensional termasuk dalam retardasi secara fungsional.
k. Sikap dan gerakan yang tidak biasa seperti mengepakan tangan dan mengedipkan mata, wajah yang menyeringai, melompat, berjalan berjalan berjingkat-jingkat.

2.1.7. Penatalaksanaan
Kimia otak yang kadarnya abnormal pada penyandang autis adalah serotonin 5-hydroxytryptamine (5-HT), yaitu neurotransmiter atau penghantar sinyal di sel-sel saraf. Sekitar 30-50 persen penyandang autis mempunyai kadar serotonin tinggi dalam darah. Kadar norepinefrin, dopamin, dan serotonin 5-HT pada anak normal dalam keadaan stabil dan saling berhubungan. Akan tetapi, tidak demikian pada penyandang autis. Terapi psikofarmakologi tidak mengubah riwayat keadaan atau perjalanan gangguan autistik, tetapi efektif mengurangi perilaku autistik seperti hiperaktivitas, penarikan diri, stereotipik, menyakiti diri sendiri, agresivitas dan gangguan tidur. Sejumlah observasi menyatakan, manipulasi terhadap sistem dopamin dan serotonin dapat bermanfaat bagi pasien autis. Antipsikotik generasi baru, yaitu antipsikotik atipikal, merupakan antagonis kuat terhadap reseptor serotonin 5-HT dan dopamin tipe 2 (D2). Risperidone bisa digunakan sebagai antagonis reseptor dopamin D2 dan serotonin 5-HT untuk mengurangi agresivitas, hiperaktivitas, dan tingkah laku menyakiti diri sendiri. Olanzapine, digunakan karena mampu menghambat secara luas pelbagai reseptor, olanzapine bisa mengurangi hiperaktivitas, gangguan bersosialisasi, gangguan reaksi afektual (alam perasaan), gangguan respons sensori, gangguan penggunaan bahasa, perilaku menyakiti diri sendiri, agresi, iritabilitas emosi atau kemarahan, serta keadaan cemas dan depresi. Untuk meningkatkan keterampilan sosial serta kegiatan sehari-hari, penyandang autis perlu diterapi secara nonmedikamentosa yang melibatkan pelbagai disiplin ilmu. Menurut dr Ika Widyawati SpKJ dari Bagian Ilmu Penyakit Jiwa FKUI, antara lain terapi edukasi untuk meningkatkan interaksi sosial dan komunikasi, terapi perilaku untuk mengendalikan perilaku yang mengganggu/membahayakan, terapi wicara, terapi okupasi/fisik, sensori-integrasi yaitu pengorganisasian informasi lewat semua indera, latihan integrasi pendengaran (AIT) untuk mengurangi hipersensitivitas terhadap suara, intervensi keluarga, dan sebagainya. Untuk memperbaiki gangguan saluran pencernaan yang bisa memperburuk kondisi dan gejala autis, dilakukan terapi biomedis. Terapi itu meliputi pengaturan diet dengan menghindari zat-zat yang menimbulkan alergi (kasein dan gluten), pemberian suplemen vitamin dan mineral, serta pengobatan terhadap jamur dan bakteri yang berada di dinding usus. Dengan pelbagai terapi itu, diharapkan penyandang autis bisa menjalani hidup sebagaimana anak-anak lain dan tumbuh menjadi orang dewasa yang mandiri dan berprestasi.

2.2 Asuhan Keperawatan Teori
2.2.1. Pengkajian
1. Biodata Klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register dan diagnose medis.
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat kesehatan sekarang
b. Riwayat kesehatan dahulu
c. Riwayat kesehatan keluarga
3. Riwayat Psikologis
Meliputi koping keluarga dalam menghadapi masalah
4. Riwayat Tumbuh Kembang
a. Bayi Baru Lahir abnormal
b. Kemampuan motorik halus, motorik kasar, kognitif dan tumbuh kembang pernah mengalami trauma rasa sakit.
c. Sakit pada saat kehamilan mengalami infeksi intrapartal
d. Sakit pada saat kehamilan tidak keluar mekonium
5. Riwayat Sosial
a. Hubungan sosial di luar lingkungan internal
b. Hubungan internal antara anggota keluarga
Pengkajian data fokus pada anak dengan gangguan perkembangan pervasive menurut Isaac, A (2005) dan Townsend, M.C (1998) antara lain:
a. Tidak suka dipegang
b. Rutinitas yang berulang
c. Tangan digerak-gerakkan dan kepala diangguk-anggukan
d. Terpaku pada benda mati
e. Sulit berbahasa dan berbicara
f. 50% diantaranya mengalami retardasi mental
g. Ketidakmampuan untuk memisahkan kebutuhan fisiologis dan emosi diri sendiri dengan orang lain
h. Tingkat ansietas yang bertambah akibat dari kontak dengan dengan orang lain
i. Ketidakmampuan untuk membedakan batas-batas tubuh diri sendiri dengan orang lain
j. Mengulangi kata-kata yang dia dengar dari yang diucapkan orang lain atau gerakkan-gerakkan mimik orang lain.
2.2.2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa autis dapat ditentukan dengan cara :
• Tidak ada tes laboratorium atau fisik yang memastikan secara pasti diagnosa Autisme
• Sebaiknya ada Tim Diagnostik yang terdiri dari Neurolog, Ahli perkembangan anak, Juru terpai perkataan / bahasa dan Konsultan pendidikan istemewa.
• Tim ini memakai wawancara, observasi dan daftar ciri khas yang dikembangkan untuk membuat diagnosa autis.
Dari kesimpulan diatas maka kami mengambil beberapa contoh diagnosa yang telah dilakukan sebelumnya, yaitu :
a. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan dengan kerusakan fungsi kognitif.
b. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang menderita retardasi mental.
c. Resiko tinggi cedera (fisik) berhubungan dengan faktor usia orang tua.
2.2.3. Intervensi / Rencana Keperawatan
a. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan dengan kerusakan fungsi kognitif.
Tujuan : Pasien mencapai potensi pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.
Intervensi :
1. Libatkan anak dan keluarga dalam program stimulasi dini pada bayi untuk membantu memaksimalkan perkembangan anak.
2. Kaji kemajuan perkembangan anak dengan interval regular.
3. Bantu keluarga untuk menentukan kesiapan anak untuk mempelajari tugas-tugas khusus karena kesiapan anak mungkin saja tidak mudah untuk dikenali.
b. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang menderita retardasi mental.
Tujuan : Pasien ( Keluarga ) mendapat dukubgan yang adekuat.
Intervensi :
1. Berikan informasi pada keluarga sesegera mungkin pada saat akan mengalami proses persalinan karena keluarga dapat mencurigai adanya masalah yang mungkin memerlukan dukungan segera.
2. Bila mungkin, berikan informasi tertulis pada keluarga tentang kondisi anak ( autisme ).
3. Tunjukkan penerimaan terhadap anak melalui prilaku yang memberikan kebutuhan anak seperti kasih sayang karena orangtua sensitif pada sikap profesional.
c. Resiko tinggi cedera (fisik) berhubunagn dengan faktor usia orang tua.
Tujuan : Agar tidak terjadi Syndrome Down
Intervensi :
a. Diskusikan dengan para calon Ibu yang beresiko tinggi tentang bahaya melahirkan anak dengan sindrome down agar keluarga dapat membuat keputusan yang reproduktif.
b. Diskusikan pilihan aborsi efektif dengan calon Ibu yang mengandung janin dengan gangguan sindrome down.
c. Diskusikan dengan orangtua dan anak-anak remaja didalam keterlibatan penyakit ini.
BAB III
TINJAUAN KASUS
3.1 Pengkajian
3.1.1. Identitas Penderita
Nama : An. E
Tempat Tanggal Lahir : Karang Tinggi, 10 Juni 2002
Jenis Kelamin : Laki – laki
Pendidikan Anak : Sekolah Luar Biasa (SLB)/SD
Anak ke : Ke-3 dari 3 bersaudara
Nama Ibu : Ny. S
Pekerjaan Ibu : Ibu Rumah Tangga
Nama Ayah : Tn. As
Pekerjaan Ayah : Swasta
Pendidikan : S1
Alamat : Jl. Hibrida Raya No. 10 Kelurahan Sidomulyo
Diagnosa Medis : Autis

3.1.2 Keluhan Utama
Alasan masuk RS : Karena adanya gangguan pada An. E yaitu autisme yang menyebabkan An. E sulit berkomunikasi dengan orang yang ada di sekitarnya.

3.1.3 Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
1. Pranatal : Sebelum mengalami kehamilan istri Tn. As tidak mengalami penyakit atau gangguan yang dapat menyebabkan kelainan pada kehamilannya.
2. Intranatal : Tidak terjadi kelainan yang dapat menyebabkan gangguan pada kehamilannya
3. Postnatal : Kelahiran istri Tn. As normal dan tidak terjadi gangguan

3.1.4 Riwayat Kesehatan Dahulu
1. Penyakit yang diderita sebelumnya : Tidak ada
2. Pernah di rawat di Rumah Sakit : Tidak pernah
3. Obat-obatan yang digunakan : -
4. Alergi : -
5. Kecelakaan : -
6. Riwayat imunisasi :
No. Imunisasi / vaksin Umur
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7. BCG
Hepatitis B
Polio
DPT 1
DPT 2
DPT 3
Campak
0-2 Bulan
1 Bulan
4 Bulan
2 Bulan
3 Bulan
4 Bulan
6 Bulan




3.1.5 Riwayat kesehatan saat ini
Saat ini klien yang mengalami keadaan autis sehingga klien sangat sulit untuk bergaul dengan orang yang ada di sekitarnya karena klien sangat sensitif terhadap rangsangan dari luar yang menurut dirinya dapat membahayakan dirinya.


3.1.6 Riwayat kesehatan keluarga disertai genogram 3 generasi











Keterangan :
• : Laki-laki
• : Perempuan
• ---- : Tinggal 1 Rumah
• X : Meninggal

3.1.7 Riwayat Tumbuh Kembang
1. Kemandirian dan bergaul : Tergantung dengan keluarga
2. Motorik kasar : Dapat berdiri dengan tegak, dll
3. Motorik halus : Dapat memegang mainan dengan menggunakan tangannya
4. Lain-lain : -

3.1.8 Riwayat Sosial
1. Yang mengasuh klien : Keluarga
2. Hubungan dengan anggota keluarga : Baik
3. Hubungan dengan teman sebaya : Tidak dapat bergaul dengan baik
4. Pembawaan secara umum : Bermacam-macam seperti dapat menarik diri dapat juga hiperaktif terhadap segala hal
5. Lingkungan rumah : Bersih

3.1.9 Pemeriksaan fisik
1. Keadaan umum : Anak tampak apatis dan hiperaktif
2. TB/BB (cm) : 100 cm / 32 Kg
3. Kepala
a. Lingkar Kepala : 35 cm
b. Rambut : Kebersihan : Bersih
Warna : Coklat
Tekstur : Lebat
Distribusi rambut : -
Kuat/mudah tercabut : Kuat
4. Mata : Simetris
Sklera : Normal
Konjungtiva : Normal
Palpebra : Mongoloid
Pupil : Ukuran : Normal, Bentuk : Bulat
Reaksi : refleks terhadap cahaya
5. Telinga : Simetris, Serumen : Tidak Ada
Pendengaran : Normal
6. Hidung : Septum Simetris, Serumen : Tidak Ada
7. Mulut : Anak bisa membuka mulut dengan baik, mulut bersih
8. Leher
a. Kelenjar Getah Bening : tidak ada massa (benjolan)
b. Kelenjar Tiroid : tidak ada massa (benjolan)
c. JVP : tidak terjadi distensi vena
9. Dada
a. Inspeksi : Dada simetris
b. Palapasi : Tidak ada penonjolan dan pembengkakan
10. Jantung
a. Inspeksi : Melihat adanya pembesaran Ventrikel
b. Palpasi : Tidak terjadi pembesaran ventrikel
c. Auskultasi : Bunyi jantung S1, S2, S3, S4
11. Paru-paru
a. Inspeksi : Terjadi pengembangan paru (normal)
b. Palpasi : Tidak ada tumor dan massa
c. Perkusi : Sonor (normal)
d. Auskultasi : Suara nafas vesikuler (normal)
12. Perut
a. Inspeksi : Simetris
b. Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
c. Perkusi : Bunyi timpani pada seluruh abdomen
d. Auskultasi : Bising usus, suara bising (bruit) pada seluruh permukaan
13. Punggung : Bentuk Lordosis
14. Ekstremitas : Kekuatan dan Tonus Otot
a. Atas : Inspeksi pada tulang
b. Bawah : Gaya berjalan Berbentuk huruf O
15. Genitalia : Fimosis (pembukaan preputium sangat kecil sehingga tidak dapat ditarik ke glands)
16. Kulit : Warna : Kuning langsat, Turgor : Normal, Integritas : - , Elastisitas : Normal
17. Pemeriksaan Neurologis : Refleks patologis

3.1.10 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium : -
2. Rontgen : -
3. Lain-lain : -

3.1.11 Kebutuhan Dasar sehari-hari

No Jenis Kebutuhan Di Rumah Di Rumah Sakit
1. Makan 3xsehari 3xsehari
2. Minum ± 8 gelas perhari ± 6 gelas perhari
3. Tidur ± 6 jam ± 6 jam
4. Mandi 3xsehari 3xsehari
5. Eliminasi Normal Normal
6. Bermain Aktif Aktif




3.1.12 Analisa Data
No Data Etiologi Masalah
1.















2.















3. DS : - Pasien mengatakan sulit bermain dan berkomunikasi dengan orang yang ada di sekitarnya.
- Pasien mengatakan sulit untuk tidur.
- Keluarga klien mengatakan bahwa anaknya suka rewel.

DO : - TD : 100/60 mmHg
- RR : 24 x permenit
- Suhu : 36 ºC
- Nadi : 100 x permenit

DS : - Pasien mengatakan tidak diperhatikan oleh orang tuanya.
- Pasien mengatakan jenuh dengan suasana rumahnya

DO : - TD : 100/60 mmHg
- RR : 24 x permenit
- Suhu : 36 ºC
- Nadi : 100 x permenit
- Pasien tampak bingung
- Pasien tampak acuh tak acuh (apatis)


DS : - Pasien mengatakan sangat aktif jika sedang bermain
- Pasien mengatakan sering jatuh

DO : TD : 100/60 mmHg
- RR : 24 x permenit
- Suhu : 36 ºC
- Nadi : 100 x permenit
- Pasien tampak senang jika sedang bermain. Kerusakan fungsi kognitif














Mempunyai anak yang mempunyai retardasi mental













Faktor usia orang tua Perubahan pertumbuhan dan perkembangan













Perubahan proses keluarga














Resiko tinggi cedera (fisik)

3.2 Diagnosa Keperawatan
a. Perubahan pertumbuhan dan perkembangan dengan kerusakan fungsi kognitif.
b. Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang menderita retardasi mental.
c. Resiko tinggi cedera (fisik) berhubungan dengan faktor usia orang tua.



3.3 Asuhan keperawatan

No DK Perencanaan Implementasi
Tujuan / KH Intervensi
1.





































2.














































3. Perubahan pertumbuhan dan perkembangandengan kerusakan fungsi kognitif.
















Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang menderita retardasi mental.



















Resiko tinggi cedera (fisik) berhubungan dengan faktor usia orang tua.

Pasien mencapai potensi pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. 1. Libatkan anak dan keluarga dalam program stimulasi dini pada bayi untuk membantu memaksimalkan perkembangan anak.


2. Kaji kemajuan perkembangan anak dengan interval regular


3. Bantu keluarga untuk menentukann kesiapan anak untuk mempelajari tugas tugas khusus karna kesiapan anak mungkin saja tidak mudah untuk di kenali
1.Berikan informasi kepada keluarga sesegera mungkin pada saat akan mengalami proses persalinan karna keluarga dapat mencurigai adanya masalah yang mungkin memerlukan dukungan segera


2.Bila mungkin berikan informasi tertulis pada keluarga tentang kondisi anak.


3.Tunjukan penerimaan terhadap anak melalui perilaku yang memberikan kebutuhan anak seperti kasih sayang, karna orang tua sensitip pada sifat profesional


1. Diskusikan dengan para calon ibu yang berisiko tinggi terhadap bahaya melahirkan dengan sindrome down agar keluarga dapat membuat keputusan yang reproduktif


2. Diskusikan pilihan aborsi efektip dengan calon ibu yang mengandung janin dengan gangguan sindrome down


3. Diskusikan dengan orang tua dan anak anak di dalam remaja keterlibatan untuk penyakit ini

1.Melibatkan anak dan keluarga dalam program stimulasi dini pada bayi untuk membantu memaksimalkan perkembangan anak.






2.Mengkaji kemajuan perkembangan anak dengan interval regular




3.Membantu keluarga untuk menentukann kesiapan anak untuk mempelajari tugas tugas khusus karna kesiapan anak mungkin saja tidak mudah untuk di kenali


1.Memberikan informasi kepada keluarga sesegera mungkin pada saat akan mengalami proses persalinan karna keluarga dapat mencurigai adanya masalah yang mungkin memerlukan dukungan segera








2.Bila mungkin berikan informasi tertulis pada keluarga tentang kondisi anak.



3.Menunjukan penerimaan terhadap anak melalui perilaku yang memberikan kebutuhan anak seperti kasih sayang, karna orang tua sensitip pada sifat profesional



1.Mendiskusikan dengan para calon ibu yang berisiko tinggi terhadap bahaya melahirkan dengan sindrome down agar keluarga dapat membuat keputusan yang reproduktif







2.Mendiskusikan pilihan aborsi efektip dengan calon ibu yang mengandung janin dengan gangguan sindrome down




3.Mendiskusikan dengan orang tua dan anak anak di dalam remaja keterlibatan untuk penyakit ini



3.4 Catatan Perkembangan
Nama Klien : An. E
Ruang Rawat : Melati 1
Diagnosa Medik : Autisme

Hari/Tanggal Diagnosa Keperawatan Implementasi Evaluasi
1. Perubahan pertumbuhan dan perkembangandengan kerusakan fungsi kognitif.























2.Perubahan proses keluarga berhubungan dengan mempunyai anak yang menderita retardasi mental.
















3. Resiko tinggi cedera (fisik) berhubungan dengan faktor usia orang tua.
1.Melibatkan anak dan keluarga dalam program stimulasi dini pada bayi untuk membantu memaksimalkan perkembangan anak.

2. Mengkaji kemajuan perkembangan anak dengan interval regular.

3.Membantu keluarga untuk menentukann kesiapan anak untuk mempelajari tugas tugas kusus karna kesiapan anak mungkin saja tidak mudah untuk di kenali





























1.Memberikan informasi kepada keluarga sesegera mungkin pada saat akan mengalami proses persalinan karna keluarga dapat mencurigai adanya masalah yang mungkin memerlukan dukungan segera.

2.Bila mungkin berikan informasi tertulis pada keluarga tentang kondisi anak.

3.Menunjukan penerimaan terhadap anak melalui perilaku yang memberikan kebutuhan anak seperti kasih sayang, karna orang tua sensitip pada sifat profesional











1.Mendiskusikan dengan para calon ibu yang berisiko tinggi terhadap bahaya melahirkan dengan sindrome down agar keluarga dapat membuat keputusan yang reproduktif

2.Mendiskusikan pilihan aborsi efektip dengan calon ibu yang mengandung janin dengan gangguan sindrome down

3.Mendiskusikan dengan orang tua dan anak anak remaja di dalam keterlibatan untuk penyakit ini








S :
 Pasien mengatakan sudah dapat berkomunikasi dengan keluarga dan orang yang ada di sekitarnya.
 Pasien mengatakan tidak terlalu sulit tidur lagi
 Keluarga pasien mengatakan bahwa anaknya sudah tidak terlalu rewel lagi

O :
 TD : 100/60 mmHg RR : 24 x permenit
 Suhu : 36 ºC
 Nadi : 100 x permenit
 Pasien tampak bingung
 Pasien tampak acuh tak acuh (apatis)

A :
 Pasien sudah mampu berkomunikasi dg orang disekitarnya
 Pasien sudah tidak terserang insomnia lagi
 Keluarga sudah mampu mengatasi rewel anaknya

P :
 Intervensi dilanjutkan



S :
 Orang tua pasien sudah mulai memberi perhatian lebih pada anaknya
 Pasien mengatakan sudah dapat menghilangkan jenuhnya

O :
 TD : 100/60 mmHg
 RR : 24 x permenit
 Suhu : 36 ºC
 Nadi : 100 x permenit

A :
 Anak sudah merasakan perhatian lebih dari orang tuanya
 Jenuh pasien sudah dapat diatasi dengan modifikasi lingkungan rumahnya

P :
 Intervensi Dilanjutkan




S :
 Pasien mengatakan sudah dapat mengontrol bernainnya yang sangat aktif dan berlebihan
 Pasien mengatakan masih sering jatuh walaupun jarang

O :
 : TD : 100/60 mmHg
 RR : 24 x permenit
 Suhu : 36 ºC
 Nadi : 100 x permenit


A :
 Anak sudah tidak bermain secara aktif berlebihan

 Anak terkadang masih sering jatuh
P :
 Intervensi dilanjutkan

























BAB IV
PENUTUP

4.1 kesimpulan
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
• interaksi sosial,
• komunikasi (bahasa dan bicara),
• perilaku-emosi,
• pola bermain,
• gangguan sensorik dan motorik
• perkembangan terlambat atau tidak normal.
Beberapa kondisi lain yang umum pada anak-anak dengan autisme. Mereka termasuk:
• Penyakit genetik. Sekitar 10-15% dari kasus autisme memiliki diidentifikasi Mendel (single-gen) kondisi, kelainan kromosom, atau sindrom genetik lainnya, [152] dan ASD dikaitkan dengan beberapa kelainan genetik.
• Keterbelakangan mental. Bagian dari individu autistik yang juga memenuhi kriteria untuk keterbelakangan mental telah dilaporkan sebagai mana saja dari 25% sampai 70%, variasi lebar yang menggambarkan kesulitan menilai kecerdasan autistik. [154] Untuk ASD selain autisme, asosiasi yang mengalami keterbelakangan mental adalah jauh lebih lemah.
• Gangguan kecemasan adalah umum di antara anak dengan ASD, tidak ada data perusahaan, namun penelitian telah melaporkan prevalensi berkisar dari 11% menjadi 84%. Banyak gangguan kecemasan memiliki gejala yang lebih baik dijelaskan oleh ASD sendiri, atau sulit untuk membedakan dari gejala-gejala ASD.
• Epilepsi, dengan variasi risiko epilepsi karena usia, tingkat kognitif, dan jenis gangguan bahasa. Beberapa metabolik cacat, seperti fenilketonuria, dikaitkan dengan gejala autis.
• Minor anomali fisik meningkat secara signifikan dalam populasi autistik.
• Mendahului diagnosis. Meskipun DSM-IV aturan keluar bersamaan diagnosa dari banyak kondisi lain bersama-sama dengan autisme, kriteria lengkap ADHD, sindrom Tourette, dan kondisi ini sering hadir dan diagnosa komorbiditas ini semakin diterima.
• Masalah tidur mempengaruhi sekitar dua-pertiga dari individu dengan ASD pada titik tertentu di masa kanak-kanak. Ini paling sering termasuk gejala insomnia, seperti kesulitan untuk jatuh tertidur, sering terbangun malam hari, dan pagi terbangun. Masalah tidur berhubungan dengan perilaku sulit dan keluarga stres, dan sering menjadi fokus perhatian klinis di atas dan di atas diagnosis ASD utama.
Penyebab Autisme diantaranya :
• Genetik (80% untuk kembar monozigot dan 20% untuk kembar dizigot) terutama pada keluarga anak austik (abnormalitas kognitif dan kemampuan bicara).
• Kelainan kromosom (sindrom x yang mudah pecah atau fragil).
• Neurokimia (katekolamin, serotonin, dopamin belum pasti).
• Cidera otak, kerentanan utama, aphasia, defisit pengaktif retikulum, keadaan tidak menguntungkan antara faktor psikogenik dan perkembangan syaraf, perubahan struktur serebellum, lesi hipokompus otak depan.
• Penyakit otak organik dengan adanya gangguan komunikasi dan gangguan sensori serta kejang epilepsi
• Lingkungan terutama sikap orang tua, dan kepribadian anak
• Pada masa bayi terdapat kegagalan mengemong atau menghibur anak, anak tidak berespon saat diangkat dan tampak lemah. Tidak adanya kontak mata, memberikan kesan jauh atau tidak mengenal. Bayi yang lebih tua memperlihatkan rasa ingin tahu atau minat pada lingkungan, bermainan cenderung tanpa imajinasi dan komunikasi pra verbal kemungkinan terganggu dan tampak berteriak-teriak.

4.2 Saran
Dalam upaya meningkatkan asuhan keperawatan klien dengan penyakit autisme, hendaknya :
- Klien diberi support agar dapat berkomunikasi dengan orang lain dengan baik.
- Memberi perawatan dan perhatian kepda klien dalam proses perawatan.
- Peningkatan dan penyedian sarana dan prasarana serta kerja sama antara pihak rumah sakit dengan keluarga.
- Diharapkan kepada keluarga kiranya dapat merawat klien apabila dilakukan perawatan dirumah.






DAFTAR PUSTAKA

Prasetyono, DS.Serba-serbi anak autisme.2008.Diva Pres:Jakarta
http://id.wikipedia.org/wiki/Autisme
http://www.autis.info/
http://www.autisme.or.id/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar